Pelestari Hutan Aceh Ini Raih ‘Nobel Asia’ Ramon Magsasay Award 2024

Yayasan Magsaysay menilai Farwiza punya pemahaman mendalam tentang hubungan penting antara alam dan kemanusiaan.


Manila, Suarathailand- Farwiza Farhan, perempuan pegiat dan pelestari Hutan Leuser di Aceh menerima Ramon Magsasay Award 2024 untuk kategori Kepemimpinan Baru (Emergent Leadership) yang diumumkan langsung dari Manila, Filipina pada tanggal 31 Agustus 2024.

Farwiza mengaku kaget ketika mendapat kabar kalau dirinya menjadi penerima Ramon Magsaysay Award 2024 kategori Kepemimpinan Baru (Emergent Leadership).

Perempuan kelahiran Aceh ini sudah beberapa kali mendapatkan penghargaan internasional berkat dedikasinya beraksi dalam penyelamatan dan pelestarian Kawasan Ekosistem Leuser di Aceh bersama organisasinya Yayasan Hutan-Alam dan Lingkungan Aceh.

Dikutip dari Mongabay.co.id, Farwiza pernah meraih penghargaan dari National Geographic Wayfinder Award 2022, Pritzker Emerging Environmental Genius Award 2021, TED Fellow 2021, Future for Nature Award 2017, dan Whitley Award 2016. Pada 2022, oleh TIME dia dinobatkan sebagai TIME 100 Next 2022.

Bagi Farwiza meraih penghargaan ‘Nobel Asia’ Ramon Magsasay  ini bukan hanya untuk dia pribadi tetapi juga orang-orang yang berjuang bersama menjaga dan menyelamatkan hutan Leuser. Baginya, penghargaan ini juga sebuah rekognisi terhadap kerja-kerja yang lebih luas.

Yayasan Magsaysay menilai Farwiza punya pemahaman mendalam tentang hubungan penting antara alam dan kemanusiaan. Komitmennya terhadap keadilan sosial dan tanggung jawab sebagai warga negara melalui dedikasinya dengan hutan, masyarakat sekitar hutan, dan mengkampanyekan kesadaran lebih besar tentang perlunya melindungi jantung dan paru-paru alam yang kaya dan terancam punah di negara Indonesia dan Asia.

Lahir di Aceh pada 1986, Farwiza sejak kecil sudah jatuh cinta dengan keindahan alam hingga mendorongnya mendalami bidang biologi kelautan dan dunia konservasi. Namun kerusakan alam terus berlangsung, yang membuatnya tidak berdiam diri.

Aksi-aksi lingkungan dari lulusan program Doktor Antropologi Budaya dan Studi Pembangunan Radboud University Nijmegen, Belanda ini diawali kala bergabung dengan Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), lembaga bentukan pemda Aceh untuk mengelola ekosistem Leuser. Saat itu ia baru menyelesaikan program master manajemen lingkungan dari University of Queensland, Australia.

Ekosistem Leuser, meskipun sudah jadi Warisan Dunia UNESCO pada 2004 dan jadi kawasan yang dilindungi pada 2008, terus mengalami keterancaman dari deforestasi, infrastruktur, sampai komersialisasi. Kondisi makin parah kala penegakan hukum bagi pelanggar lemah.

Share: