Anda Harus Tahu, Ini Sejarah Mudik di Indonesia, Dimulai Saat Zaman Kerajaan

Kebiasaan mudik dimulai sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam.

Mudik memang telah menjadi tradisi masyarakat tanah air jelang Lebaran. Kebiasaan ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun lamanya. 

Lantas, bagaimana sejarahnya mudik bisa menjadi tradisi? Sejak kapan istilah "mudik" digunakan? Berikut ulasannya.

Sejarah mudik Sebagaimana diberitakan Kompas.com, 6 Juni 2018, mudik sebenarnya sudah ada sejak zaman kerajaan. Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Silverio Raden Lilik Aji Sampurno mengatakan, kebiasaan mudik dimulai sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam.

"Awalnya, mudik tidak diketahui kapan. Tetapi ada yang menyebutkan sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam," kata Silverio. 

Alkisah, dahulu wilayah kekuasaan Majapahit begitu luas hingga ke Sri Lanka dan Semenanjung Malaya. Kerajaan Majapahit pun menempatkan para pejabatnya di titik-titik kekuasaan mereka. 

Sampai pada suatu ketika, pejabat tersebut akan kembali ke pusat kerajaan untuk menghadapi raja dan mengunjungi kampung halaman. Kebiasaan ini lantas dikaitkan dengan lahirnya fenomena mudik.

"Selain berawal dari Majapahit, mudik juga dilakukan oleh pejabat dari Mataram Islam yang berjaga di daerah kekuasaan. Terutama mereka balik menghadap Raja pada Idul Fitri," kata Silverio.

Sementara, menurut Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Yuanda Zara, tradisi mudik ada sejak masa awal kemerdekaan Indonesia. Kala itu, banyak masyarakat yang berbondong-bondong merantau ke Jakarta lantaran fokus pembangunan ada di ibu kota negara. 

Setelah beberapa tahun tinggal, para pendatang itu rindu pada kampung halaman mereka. Berangkat dari situ, muncul fenomena pulang ke kampung halaman secara massal dari para pekerja di Jakarta. Melihat ini, pemerintah pun memberikan perhatian serius. 

Tahun 1960-an jalur-jalur kereta api dari masa kolonial kembali dihidupkan di seluruh wilayah untuk memudahkan warga pulang ke kampung halaman. 

Dalam perkembangannya, mudik juga dilakukan dengan moda transportasi bus, kapal, pesawat, bahkan mulai tahun 1980-an orang banyak mudik menggunakan kendaraan pribadi.

"Sampailah ke era sekarang yang kita lihat tadi itu telah berlangsung sekitar 70 tahun dalam skala yang besar, kalau sebelumnya hanya skala personal," kata Yuanda dilansir dari pemberitaan Historia.id, 9 Mei 2021. 

Istilah "mudik" Meski sudah menjadi tradisi sejak lama, istilah "mudik" baru populer di tahun 1970-an. Menurut Silverio, sejak saat itu mudik dikenal sebagai tradisi yang dilakukan oleh perantau untuk kembali ke kampung halamannya dan berkumpul bersama keluarga, khususnya ketika Lebaran.

Mudik banyak dilakukan oleh perantau di Jakarta yang mayoritas berasal dari Jawa. Sementara, bagi masyarakat Jawa sendiri, "mudik" diartikan sebagai mulih dhisik atau pulang dulu.  

"Mudik menurut orang Jawa itu kan dari kata mulih dhisik yang bisa diartikan pulang dulu. Hanya sebentar untuk melihat keluarga setelah mereka menggelandang (merantau)," kata Silverio. 

Di sisi lain, masyarakat Betawi mengartikan mudik sebagai "kembali ke udik". Dalam bahasa Betawi, "udik" berarti kampung.

Saat orang Jawa hendak pulang ke kampung halaman, orang Betawi menyebut "mereka akan kembali ke udik". Akhirnya, istilah ini mengalami penyederhanaan dari "udik" menjadi "mudik". S

ementara, menurut Yuanda Zara, istilah mudik mulai banyak digunakan di tahun 1980-an. Sebelum itu, masyarakat umumnya menggunakan istlah "pulang kampung", "bersilaturahmi dengan keluarga besar", "halal bi halal dengan keluarga di daerah", dan sebagainya. (historia, kompas)



Share: