TGB: Jangan Benturkan Islam dan Nasionalisme


Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi mengatakan akhir-akhir ini  terus dibahas di ruang publik soal nasionalisme dan keislaman. Dia  menilai, diskursus ini sudah berjalan lama.

"Seringkali publik berhadapan pada satu isu atau masalah berdasarkan  yang dibaca dari tulisan orang yang menulis berbeda dengan konteks  kita," ujar TGB, Sabtu (17/1).

TGB menegaskan, tidak ada  pertentangan subtantif antara keislaman dengan nasionalisme atau  kebangsaan. Masing-masing memiliki tempat.

"Secara konsep dan praktis tak ada benturan," lanjut TGB. 

Hanya  saja, kata TGB, hal ini menjadi beda ketika ada yang menjadi pengusung  dengan munculnya kelompok nasionalis ataupun islamis, kemudian membangun  demarkasi berdasar pemahaman yang paling benar. Misalnya, para  nasionalis cinta tanah air dan tak peduli agama. Sementara islamis  adalah yang menjadikan agama sebagai panduan pokok dan tidak ada urusan  dengan nasionalisme.

"Ketika masuk tafsiran kelompok bisa jadi ada benturan. Dalam situasi apapun, kita harus tetap menjaga akal sehat," urai TGB. 

TGB  menambahkan, semua pihak memiliki kewajiban menerangkan antara  keislaman dan kebangsaan tidak ada pertentangan. Ia menyampaikan, Islam  tidak datang di ruang kosong, namun hadir dalam sejarah.

"Kebenaran  dalam sejarah itu kebenaran dari Allah SWT. Cinta pada tanah air itu  bagian dari naluri, tak mungkin bertentangan dengan agama," katanya. 

TGB  menyinggung, seringnya beberapa orang merujuk pengalaman dari negara  lain untuk diterapkan di Indonesia. Dalam banyak isu keislaman Indonesia  banyak merujuk pada tulisan lain pada situasi tertentu.

"Contohnya  ada orang yang dipenjara kemudian menulis dengan penuh kemarahan. Wajar  tulisannya penuh perlawanan, tak wajar kita mengambil mentah-mentah,"  ucap TGB. 

Di Indonesia, lanjut TGB, punya pengalaman  kebangsaan yang kaya dan tidak kurang menjadi rujukan.  "Jangan kemudian  tulisan orang luar diterapkan di Indonesia. Pengalaman kebangsaan di  Indonesia tidak kurang legitimasi," sambung dia. 

TGB  menambahkan, hal ini yang kemudian disebut Islam nusantara, yang  maknanya mengajak semua mengkodifikasi atau mendokumentasi dengan baik  nilai keislaman Indonesia untuk bisa ditawarkan menjadi salah satu  rujukan. Lebih jauh, bila kalangan umat islam di Arab mengalami masalah  nasionalisme dan ada resistensi, itu karena pengalaman kolektif bangsa  Arab. Nation state atau negara yang terbentuk adalah skenario atau  buatan dari penjajah.

"Kita tahu dalam sejarah, Jazirah  Arab itu dibelah-belah oleh Inggris maupun Perancis. Negara di Arab itu  dibagi-bagi," katanya.  

Hal ini, kata TGB, memicu  sensitivitas terhadap nation state. Maka, lanjut TGB, para cerdik  cendikia di Arab menulis kritikan pada bangsa Nation State. Hingga dipopulerkan satu kontra, ketika kekhalifahan itu lemah dan jatuh maka akan dibentuk negara sesuai kemauan penjajah.

"Resistensi yang paling mudah dan dekat dengan sejarah, menulis tentang khalifah," ungkap dia  

Gubernur  NTB 2008-2018 ini mengungkapkan, kejadian ini beda dengan di Indonesia.  Nation state yang bernama NKRI bukan pemberian penjajah.

"NKRI  ini lahir dalam bentuk penyatuan yang banyak. Kalau membaca sejarah,  jelas para sultan atau raja baik di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa  menyerahkan kekuasaan pada republik," katanya. 

TGB melanjutkan, tidak relevan ketika membaca karya yang mengecam nation state berdasar pengalaman yang terjadi di Arab. Menurut TGB, ketika bicara  bangsa yang paling aman adalah kembali kepada rujukan primer pada  Alquran dan hadist, serta dari perjalanan panjang.

"Pandangan  dunia yang ditawarkan oleh Al Quran bukan teori konflik. Seperti  dikatakan Syaikh Ali Jum'ah yang ditawarkan yaitu pandangan dunia yang  komplementatif bahwa semua potensi di dunia ini diakui oleh Islam,"  sambungnya.

TGB berpandangan masa depan yang diajarkan  dalam islam bukan konflik atau benturan, namun keharmonisan seperti yang  disampaikan dalam Alquran.

"Islam itu datang untuk menyerap yang baik," kata dia.

Ketua  Ikatan Alumni Al Azhar Indonesia ini melanjutkan, bagian dari fitrah  dan akal manusia adalah hubbul wathan. Nasionalisme dalam makna hubbul  wathan adalah kehendak kuat lepas dari penjajahan. 

"Dan  itu diakui oleh Islam, kecuali jika nasionalisme diartidanka  chauvinistik menganggap sebagai bangsa terpilih. Itu yang tak boleh,  misal mengatakan Bangsa kita adalah bangsa terbaik. Yang lain nomor  buncit, itu seperti klaim orang Yahudi," kata TGB menambahkan. (Republika)


Share: