Soal Vaksin: Mengenal Tiga Teori Fiqh – Istihalah, Istihlak dan Darurat

Penulis: Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

(Dikutip dari nadirhosen.net)


Belakangan ini terjadi kontroversi masalah vaksin yang berasal dari  babi. MUI sudah memberikan fatwa dalam hal ini. Saya mendapat banyak  pertanyaan mengenai argumentasi fatwa MUI yang membolehkan vaksin  berasal dari kandungan babi tersebut karena darurat. Silakan ditanyakan  langsung kepada para ulama di Komisi Fatwa MUI. Tulisan saya ini hanya  hendak menjelaskan tiga teori yang biasa dibahas dalam literatur  keislaman agar kita bisa lebih mudah memahami kontroversi berkenaan  dengan babi atau hal haram lainnya.

Fiqih klasik mengenal apa yang disebut dengan istihâlah, yaitu  perubahan hukum suatu hal ke hal lain. Dalam kitab standar mazhab  Hanafi, Radd Al-Mukhtâr ‘alâ Al-Durr Al-Mukhtâr, disebutkan contoh  ekstrem dari aplikasi istihâlah: Bahwa menurut Ibn Abidin, kalau babi tenggelam di laut dan setelah itu tubuhnya hancur, kemudian berubah menjadi garam maka garamnya halal.

Jika najis sudah menjadi abu, tidak dikatakan najis lagi. Garam tidak  dikatakan najis lagi, walaupun sebelumnya berasal dari keledai, babi,  atau selainnya yang najis. Begitu pula dianggap suci jika najis jatuh ke  sumur dan berubah jadi tanah.

Contoh ekstrem, kotoran sapi yang sudah berubah menjadi tanah liat  dan dipakai sebagai bahan batako dinding masjid hukumnya boleh dan tidak  najis. Sewaktu masih kotoran sapi berlaku hukum kotoran sapi. Berubah  menjadi tanah liat, maka berubah pula hukumnya.

Khamar itu jelas dihukumi haram. Akan tetapi, kalau khamar didiamkan  saja selama beberapa waktu, kemudian berubah menjadi cuka, berubah pula  status hukumnya karena zatnya sudah berubah pula. Anggur itu halal,  tetapi ketika perasan anggur diolah menjadi khamar maka hukumnya haram,  dan begitu pula ketika terjadi perubahan berikutnya, saat khamar telah  menjadi cuka maka hukumnya pun berubah menjadi halal.

Mazhab Hanafi menggunakan teori istihâlah ini secara mutlak,  sedangkan mazhab Syafi‘i lebih berhati-hati. Menurut penjelasan kitab  Syarh Al-Muhadzdzab oleh Imam Nawawi, kalau perubahan  zat itu melalui proses alami, tanpa melibatkan unsur manusia dan bahan  kimiawi lain, teori istihâlah bisa diterapkan. Akan tetapi, kalau  perubahan zat itu terjadi karena unsur rekayasa kimiawi dan teknologi  pangan, teori istihâlah tidak berlaku dalam mazhab Syafi’i.

Sebagai contoh: Kalau perubahan khamar ke cuka melalui proses alami,  mazhab Hanafi dan Syafi’i sepakat istihâlah bisa diterapkan. Akan  tetapi, kalau khamar menjadi cuka melalui proses rekayasa dengan  ditambahkan cairan ataupun melalui proses kimiawi lain maka cuka  tersebut tetap menjadi haram.

Nah, bagaimana soal lemak babi yang kemudian diproses menjadi gelatin  misalnya? Mazhab Hanafi akan mengaplikasikan teori istihâlah dan  menganggap telah terjadi perubahan dari lemak babi menjadi gelatin.  Adapun mazhab Syafi‘i akan mengharamkannya karena proses perubahan itu  tidak terjadi secara alamiah, tetapi melalui proses bantuan teknologi.

Yang menarik penjelasan Imam Daud Al-Zhahiri,  seperti dipaparkan dalam Tafsir Al-Mawardi, yang diharamkan itu cuma  daging babinya, karena secara literal Al-Quran menggunakan frasa “lahmal  khinzîr” (daging babi). Itu artinya, Al-Quran seolah-olah  mengisyaratkan selain dagingnya babi tidak diharamkan. Ya, memang ini  pendapat kontroversial, karena menurut mayoritas ulama, disebut  dagingnya saja bukan berarti selain dagingnya menjadi halal. Tetapi,  paling tidak kita mencoba untuk bersikap jujur secara ilmiah, betapa ada  pandangan lain soal lahmal khinzîr ini, seperti terekam dalam kitab  klasik.

Fiqh juga mengenal teori istihlak. Yang dimaksud dengan istihlak  adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lain yang suci  dan halal yang jumlahnya lebih banyak, sehingga menghilangkan sifat  najis dan keharaman benda yang sebelumnya najis, baik rasa, warna,  maupun baunya.
 Ada dua hadis yang menjadi dasar teori istihlak ini. Hadis pertama, ‘Air itu suci tidak ada yang dapat menajiskannya’ (HR Tirmidzi, Abu Daud, An-Nasa’i, dan Ahmad). Hadis kedua, ‘Jika air telah mencapai dua kulah, tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis)’ (HR Daruqutni dan Al-Darimi).

Berdasarkan kedua hadis di atas para ulama menjelaskan bahwa suatu  benda najis atau haram yang bercampur dengan air suci yang banyak,  sehingga najis tersebut lebur tak menyisakan warna atau baunya, maka ia  menjadi suci. Jadi, dalam kondisi tertentu air yang najis bisa berubah  menjadi suci apabila bercampur dengan air suci yang banyak.

Dari Hadis inilah berlaku aplikasi istihlak: Ketika khamar atau  alkohol dimasukkan dalam suatu materi, lalu dimasukkan ke dalamnya  berbagai materi yang lain sehingga sifat khamar yang memabukkan itu  hilang dan tidak bersisa sama sekali, maka materi tersebut dianggap  berstatus halal.

Selain contoh air dua kullah (dimana kotoran kecil menjadi tidak  najis karena sudah bercampur dengan air yang jumlahnya lebih banyak),  contoh lain soal penggunaan enzim babi dalam vaksin. Kalau ternyata  jumlahnya sedikit dan dalam hasil akhir tidak lagi terdeteksi, maka bisa  jadi vaksin itu dinyatakan halal melalui teori istihlak ini.

Kalau kedua teori di atas (istihalah dan istihlak) tidak mau kita  terima, maka ada satu teori tersisa yaitu teori darurat. Dasarnya adalah  ayat di bawah ini:

Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai, darah daging  babi & binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain  Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) padahal  ia tidak menginginkannya & tidak melampaui batas maka ia tidak  berdosa.”(QS.Al-Baqarah:173).

Pakar Ushul al-Fiqh, Abu Zahrah mendefinisikan  darurat sebagai suatu keadaan yang memaksa untuk mengomsumsi sesuatu  yang telah dilarang namun dilakukan juga dalam rangka mempertahankan  nyawa, atau khawatir akan kehilangan harta atau karena kebutuhan daruri  (pokok) seseorang terancam jika dia tidak mempertahankannya kecuali  dengan melakukan sesuatu yang dilarang tanpa mengganggu hak orang lain.

Imam Suyuthi menyebutkan kaidah fiqh ini dalam kitabnya al-Asybah wan Nazhair:

‎الضَّرُورِيَّاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ

Kondisi darurat itu membolehkan hal-hal yang terlarang

Harus digarisbawahi bahwa dalam menggunakan teori darurat ini hukum  asalnya adalah haram. Namun hukum haram tersebut bisa berubah menjadi  halal atau mubah dalam kondisi darurat. Ulama mazhab Syafi’i sepakat  bahwa kondisi darurat itu tidak harus menunggu sampai kematian itu  sebentar lagi datang. Karena menjelang sakratul maut tidak ada gunanya  lagi makan.

Mereka juga sepakat bahwa seseorang diperbolehkan makan yang  diharamkan kalau ia mengkhawatirkan dirinya bisa kelaparan, atau tidak  kuat berjalan, atau kuat naik kendaraan atau terpisah dari rombongannya  atau tersesat dan lain sebagainya. Atau kalau sampai ia tidak makan  kekhawatiran seseorang terhadap munculnya penyakit yang menakutkan  adalah sama seperti kekhawatiran datangnya kematian.

Salah satu ukuran darurat itu bisa melalui pertimbangan medis, atau  opini dari pakarnya. Disamping itu, yang namanya darurat haruslah  bersifat temporer atau sementara. Bila kondisi kembali ke normal, maka  berlaku kembali hukum asal, yaitu haram.

Imam Suyuthi menyebutkan kaidah berikutnya:

‎مَا أُبِيحَ لِلضَّرُورَةِ يُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا

Hal lain yang harus diperhatikan, melakukan tindakan dalam kondisi  darurat itu hanya sekadarnya saja, tidak berlebihan. Karena kalau sudah  berlebih, maka tidak lagi dianggap sekadar memenuhi kondisi  keterpaksaan.

Contoh praktis: anda tersedak makanan di kerongkongan dan di samping  anda hanya ada khamr, maka anda minum khamr sekadar untuk melancarkan  kerongkongan yang tersangkut makanan. Atau anda berada di tengah hutan  dan berhari-hari tidak makan, lantas anda menemui babi atau bangkai,  maka sekadar untuk mempertahankan hidup, anda boleh mengonsumsinya.

Contoh yang sedang ramai diperbincangkan: kalau anda tidak  menggunakan vaksin yang berasal dari babi maka anda bukan saja  membahayakan hidup anda tapi juga hidup orang lan yang berinteraksi  dengan anda, maka selama belum tersedia jenis vaksin lain, penggunaan  vaksin dari enzim babi dibenarkan dalam kondisi darurat, sesuai dengan  penjelasan di atas. 

Semoga penjelasan tiga teori fiqh di atas bisa bermanfaat.


Share: