"Awalnya kami perkirakan kerugian negara sebesar Rp271 triliun, namun ternyata setelah diaudit BPKP nilainya cukup fantastis, sekitar Rp300,003 triliun, kata Jaksa Agung"
Kejahatan pertambangan timah di Indonesia, khususnya dalam kasus korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk pada tahun 2015 hingga tahun 2022, menimbulkan kerugian negara yang sangat besar.
Selain merusak ekologi, kerugian negara secara ekonomi mencapai Rp300 triliun. Hal ini mengacu pada hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Awalnya kami perkirakan kerugian negara sebesar Rp271 triliun, namun ternyata setelah diaudit BPKP nilainya cukup fantastis, sekitar Rp300,003 triliun, kata Jaksa Agung RI Sanitiar Burhanuddin mengatakan hal itu di Kejaksaan Agung, Rabu 29 Mei 2024.
Hasil audit BPKP diserahkan Ketua BPKP Muhammad Yusuf Ateh kepada Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin.
Ateh mengatakan, pihaknya melakukan pengusutan kerugian negara setelah diminta Kejaksaan Agung. Berdasarkan permintaan tersebut, pihaknya melakukan prosedur audit, investigasi dan juga meminta keterangan dari ahli.
Hasil audit penghitungan kerugian negara dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah sudah kami sampaikan, sebagaimana disampaikan Jaksa Agung, total kerugiannya sekitar Rp300,003 triliun.
Tersangka Baru
Kejaksaan Agung telah menetapkan tersangka baru yakni mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM RI, Bambang Gatot Ariyono (BGA) dalam kasus ini.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Jaksa Agung Kuntadi mengatakan, pihaknya telah mengumpulkan dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan Bambang sebagai tersangka.
“Dari 4 tersangka sebelumnya, Bambang telah ditingkatkan statusnya menjadi tersangka. Beliau diangkat dalam kapasitasnya sebagai Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM periode 2015-2020,” kata Kuntadi.
Dia mengatakan, Bambang ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melakukan perbuatan melawan hukum terkait penerbitan Rencana Kerja dan Anggaran (RKAB) tahun 2019.
“Hal ini sama sekali tidak dilakukan melalui penelitian dan belakangan kami mengetahui bahwa hal tersebut untuk memudahkan transaksi timah yang diproduksi secara ilegal,” imbuhnya.
Sebagai informasi, kasus ini bermula saat sejumlah tersangka kasus ini bertemu dengan mantan petinggi PT Timah Tbk. (TINS) akan melakukan penambangan pada 2018. Pejabat PT Timah diduga menampung penambangan timah ilegal.
Pertemuan ini menghasilkan kerja sama antara PT Timah dengan sejumlah perusahaan dengan menyewakan peralatan untuk proses peleburan. Oleh karena itu, agar bijih timah ilegal tampak legal, sejumlah pihak swasta bekerja sama dengan PT Timah menerbitkan surat perintah kerja (SPK).
Selain itu, tersangka penyelenggara negara juga diduga melegalkan kegiatan perusahaan tiruan penambangan timah dengan menerbitkan surat perintah kerja pengangkutan hasil limbah pengolahan mineral timah (SHP). Selain itu, hasil penambangan ilegal kemudian dijual kembali ke PT Timah Tbk.
Berdasarkan catatan Kejaksaan Agung, PT Timah telah mengeluarkan dana sebesar Rp 1,72 triliun untuk membeli bijih timah. Kemudian, untuk proses pengerjaan logam, PT Timah Tbk mengeluarkan dana Rp975,5 juta sejak 2019 hingga 2022. (ant)