Kisah Panji dari Jawa Jadi Kesenian Kerajaan di Thailand

                             

SEJAK pertengahan abad 17 hingga awal abad 18, Kerajaan Ayutthaya di  Thailand melakukan perdagangan dengan Jawa. Beras diekspor dari  Thailand. Sementara secara reguler, kuda dibeli dari Jawa. Komunitas  Jawa pun terbentuk di sana.

Di Thailand, Kisah Panji pertama kali disusun oleh dua putri Raja  Borommakot (1733-1758) dari Ayutthaya. Kedua putri itu mendapatkan Kisah  Panji versi Jawa lewat pelayan mereka yang berasal dari tanah Melayu.  Masing-masing putri kemudian menyusun cerita versi mereka sendiri ke  dalam dua bentuk yang digunakan untuk drama tari, yaitu Dalang dan Inao.

“Kisahnya (Panji, red.) hampir berkompetisi dengan kisah Ramayana.  Adegan percintaan selalu lebih menarik dibanding adegan peperangan  melawan kera dan raksasa,” kata Rujaya Abhakorn, direktur Southeast  Asian Ministers of Education Organization Regional Centre for  Archaeology and Fine Arts (SEAMEO SPAFA), dalam Seminar Internasional  Panji/Inao, di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta.

Raja Rama I (1782-1809) dari Dinasti Chakri kemudian merevisi cerita Dalang. Sementara putranya, Rama II (1809-1824) mempopulerkan cerita Inao. 

“Kelangsungan hidup dan ekspansi Kisah Panji berutang kepada raja-raja Thailand,” lanjut Rujaya.

Inao kemudian lebih populer dibanding Dalang bahkan dianggap sebagai karya agung puisi Thailand, terutama sebagai teks lakon (sendratari).

Rujaya mengatakan saat ini di Perpustakaan Nasional Thailand ada lebih dari 500 manuskrip yang berkaitan dengan kisah Inao. Sementara yang berkaitan dengan Dalang hanya 140 manuskrip.

“Menurut para peneliti di Thailand, teks Hikayat Panji Semirang adalah sumber dari kisah Dalang,” katanya.

Thaneerat Jatuthasri, peneliti dari Chulalongkorn University  menambahkan, Kisah Panji versi Thailand kian populer sebagai pementasan  Lakhon Nai, yaitu tarian hiburan di istana yang umumnya ditampilkan oleh  penari perempuan. Tariannya berdasarkan empat cerita Ramakien, Unarut, Dalang, dan Inao, yang terdiri dari musik, tari, dan drama. Narasinya dinyanyikan dengan lagu tradisional.

“Beberapa peneliti Thailand menduga kata ‘Lakhon’ juga pengaruh Jawa  dari kata ‘Lakon’ dalam istilah pewayangan atau sendratari,” kata  Thaneerat. 

Thaneerat menjelaskan masa keemasan Lakhon Nai Inao pada era Rama II.  Sang raja memilih Kisah Panji karena plot dan temanya dapat diterima  secara universal. Potret dua tokoh utamanya pun cocok dengan tradisi  Lakhon Nai. 

Inao telah menjadi inspirasi terciptanya banyak karya sastra dan seni. Dalam penyajiannya, plot dan cerita Inao tak beda jauh dengan Kisah Panji Jawa. Hanya saja, pasangan Inao di sana bernama Butsaba. 

Lydia Kieven, peneliti Kisah Panji dari Jerman, menjelaskan Butsaba  mengandung unsur Busba yang berasal dari kata Sansekerta “puspa”. 

“Puspa berarti bunga atau sekar dalam istilah Jawa. Di Jawa kita  kenal tokoh pahlawan Kisah Panji bernama Sekar Taji,” kata Lydia. 

Karakter Inao juga sama dengan Kisah Panji: tokoh heroik  tampan sempurna, ksatria besar, menarik di hadapan perempuan, dan  petualang. Dalam penyamarannya dia dikenal sebagai Panyi. 

Beberapa aspek budaya Jawa lainnya yang ada dalam Kisah Panji  Thailand yaitu ritual di gunung suci, ritual bela atau sati, kebiasaan  tokoh menggunakan keris, sabuk, menonton wayang, dan penggunaan  istilah-istilah Jawa. 

Di Thailand, Kisah Panji juga diwujudkan dalam lukisan mural di kuil  Buddhis abad 19 di Bangkok. Lukisan itu merefleksikan cinta Raja Rama IV  kepada istri pertamanya, Ratu Somanat yang meninggal setelah melahirkan  pada 1852. Isinya adalah adegan populer dari versi Inao Rama II yang dipentaskan di istana.

“Mungkin ini (lukisan Panji, red.) menjadi satu-satunya di kawasan Asia,” kata Rujaya.

Secara umum, Kisah Panji mudah diterima di Thailand karena berisi  banyak upacara dan ritual yang merefleksikan kehidupan nyata. Kisahnya  juga relevan dengan kehidupan istana khususnya tentang tradisi kremasi  dan upacara pernikahan kerajaan.

Namun, Kisah Panji tetaplah berkaitan dengan mitologi Jawa dan  sejarah yang tidak dikenali Kerajaan Thailand pada abad 18. Ia muncul  dari konteks budaya Jawa yang berbeda dengan dunia Hindu-Buddha di  Thailand, Myanmar, Laos, dan Kamboja, atau pun dunia Islam-Melayu, di  mana ada batas penerimaan perilaku dari karakter utama Kisah Panji.

“Karena tidak memahami tradisi Jawa, Panji dalam dunia Hindu-Buddha  mungkin hanya dianggap sebagai figur menarik yang punya kecakapan  duniawi,” kata Rujaya.


Kisah Panji di Kamboja dan Myanmar

Thailand bukanlah satu-satunya yang mengadopsi Kisah Panji. Dalam  Kisah Panji versi Kamboja dikenal Inav-Panyi. “Peneliti Thailand menduga  Kisah Panji versi Kamboja yang ditemukan di Thailand dan di Prancis  mungkin adalah hasil terjemahan dari teks Inao milik Raja Rama II,” kata Rujaya.

Namun, masyarakat Kamboja banyak yang percaya bahwa Inav dibawa dari  wilayah Arab. “Ada kecenderungan umum untuk mengelompokkan Jawa dan Arab  dalam konteks Muslim yang lebih umum, sama seperti orang menuding  apapun yang dari Barat, asalnya dari Prancis,” kata Rujaya. 

Anggapan itu, kata Lydia Kieven, datang dari interpretasi berdasarkan  toponimi dalam Kisah Panji. “Sebagian memang ada yang menginterpretasi  nama tempat di Kisah Panji itu merujuk pada daerah di Timur Tengah,  seperti Daha, pernah dianggap sebagai Doha,” ujarnya.

Sejak keruntuhan Ayutthaya pada 1767, setidaknya 12 judul teks lakon, termasuk Inao,  dibawa ke Myanmar. Teks itu diterjemahkan ke dalam bahasa Myanmar oleh  tawanan Thailand yang bekerja untuk penyair dan dramawan istana di  Myanmar.

Sebelum Mindon, raja Burma (1853-1878), teater Inao di  istana berkembang menjadi lebih dari 200 pementasan. Namun, Raja Mindon  yang taat kepada Buddha, tidak begitu menyukai Kisah Panji karena tema  percintaannya. Dia lebih mendukung pagelaran Ramayana

“Dalam tradisi Buddha, obsesi cinta, sama seperti semua nafsu,  merupakan kebodohan yang akan membawa kepada penderitaan,” kata Rujaya. 

Sayangnya, setelah pendudukan Inggris di Myanmar dan runtuhnya sistem monarki pada 1885, Kisah Panji dilupakan hingga kini. (Penulis Risa Herdahita Putri. Dikutip dari Historia.id)

Share: