Ketika guru bekerja di kelas, guru perlu melihat bagaimana perbedaan siswa, baik dalam hal ekonomi, etnis, warna kulit, atau gender.
Suarathailand- Sekolah bukan sekadar tempat belajar, tetapi juga semacam ruang sosial. Ketika kita melihat melalui sudut pandang “Pendidikan multikultural”, kita akan melihat bahwa setiap siswa tidaklah sama.
Para Siswa berbeda dalam hal kelas sosial, jenis kelamin, warna kulit, ras, bahasa, etnis, dan disabilitas. Identitas siswa seperti ini penting untuk dipahami oleh guru dan diajukan pertanyaan, “Siswa mana yang memiliki akses (atau tidak) terhadap sumber daya berdasarkan perbedaan?”
Ketika guru bekerja di kelas, guru perlu melihat bagaimana perbedaan siswa, baik dalam hal ekonomi, etnis, warna kulit, atau gender, terkait dengan ketidakadilan dalam mengakses sumber daya pembelajaran.
Ini bukan hanya alokasi ekonomi, tetapi guru perlu bertanya siswa mana yang dialokasikan atau didiskriminasi secara tidak setara di sekolah dan masyarakat.
Ketika guru melihat sekolah dengan pertanyaan seperti ini, akan membantu mengungkap bahwa ketidakadilan yang mempengaruhi siswa lebih dari sekadar ketimpangan ekonomi, kelas, dan gender, tetapi juga mencakup ketimpangan budaya seperti ras, warna kulit, dan etnis.
Misalnya, apakah sekolah memiliki taman bermain untuk anak-anak penyandang disabilitas? Taman bermain mana yang terutama dapat diakses oleh jenis kelamin tertentu? Atau apakah lembaga pendidikan menyediakan sumber daya yang menghargai kemanusiaan? Bagaimana siswa diganggu karena perbedaan ras? Pengetahuan siapa yang diajarkan di sekolah?
Perspektif ini mengharuskan guru untuk memahami siapa yang tertindas dalam sistem pendidikan dan masyarakat, dan untuk meninjau apakah mereka tertindas dan menindas orang lain pada saat yang sama.
Bagaimana guru mengajar berdasarkan konsep pendidikan multikultural?
Karena itu, peran guru harus memandang multikulturalisme atas dasar hak, keadilan, dan kemanusiaan. Sering kali, ada kesalahpahaman bahwa multikulturalisme hanya diajarkan di kelas dengan siswa yang tidak berada dalam kelompok budaya utama, seperti anak-anak migran dan anak-anak etnis. Namun pada kenyataannya, hampir setiap kelas masih memiliki perbedaan kelas, jenis kelamin, dan disabilitas. Jadi, bagaimana guru mengajarkan tentang multikulturalisme?
Pendekatan 1: Pengajaran liberal
Pendekatan ini meyakini bahwa jika kita ingin menciptakan ekonomi budaya, penting untuk menggunakan sistem pendidikan untuk membentuk orang-orang di masyarakat agar memiliki rasa multikulturalisme, Hal ini akan menjadi dasar bagi multikulturalisme untuk pariwisata kreatif.
Pengajaran dengan cara ini meyakini bahwa multikulturalisme dapat terwujud, seperti di Korea Selatan, di mana siswa diajarkan sejarah kelompok orang dan pemikiran multikultural yang mendalam, serta meninjau kembali akar mereka sendiri. Lebih dari sekadar perampasan budaya yang dangkal, ekonomi kreatif di Korea sangat dihargai seiring dengan pembangunan kesadaran kolektif di antara orang-orang dalam masyarakat.
Pendekatan 2: Pengajaran kritis
Penting untuk melihat melalui kerangka kekuasaan dan ketidakadilan, melihat bahwa peran guru harus menciptakan percakapan untuk melihat siapa yang memiliki akses atau tidak memiliki akses ke sumber daya dan kekuasaan, atau siapa yang tertindas dalam masyarakat.
Tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan bahwa "semua orang setara." Misalnya, di Jepang, ada anak-anak Korea yang dipaksa meninggalkan keluarga mereka selama Perang Dunia. Bagaimana guru menjelaskan perbedaan ini?
Guru dapat membuat pelajaran untuk menunjukkan kepada siswa mengapa anak-anak Korea pergi ke Jepang, apa yang terjadi dalam sejarah. Kumpulan pengetahuan harus berupa kumpulan pengetahuan yang melihat identitas dalam hal pemahaman, dengan pelajaran, contoh, dan tindakan yang harus diambil untuk memengaruhi perasaan.
Termasuk mengajukan pertanyaan di luar kelas, seperti cara mendesain ruang di sekolah yang multikultural dan melihat orang-orang sebagai setara, atau cara mengajar untuk melihat kekuatan melalui suara setiap orang, seperti apakah dewan siswa harus memiliki kuota untuk anak-anak LGBTQ penyandang disabilitas.
Undang guru untuk melihat kembali kelas mereka sendiri dan bertanya pada diri sendiri: "Seberapa multikultural kelas saya?" dan "Apakah multikulturalisme menciptakan ketidakadilan bagi siswa mana pun?" Ketika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini ditemukan, guru mungkin memiliki lebih banyak area untuk dikerjakan.